Menurut
Wikipedia.org Indonesia pernah menjadi salah satu kekuatan besar
komunisme dunia. Kelahiran PKI pada tahun 1920an adalah kelanjutan fase
awal dominasi komunisme di negara tersebut, bahkan di Asia. Meskipun DN
Aidit seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern),
Aidit mengikuti paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya
berkembang tanpa menunjukkan keinginan untuk merebut kekuasaan. Sebagai
balasan atas dukungannya terhadap Sukarno, ia berhasil menjadi Sekjen
PKI, dan belakangan Ketua. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai
komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan RRC. Ia
mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat,
seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan
lain-lain.
Dalam
kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut
dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di
Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari
unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan
militer.
Sejak usia 15, ia sudah bergabung dengan ISDV. Ia berguru langsung kepada Heenk Sneevliet dalam mempelajari ilmu sosisalis komunis. Semaoen adalah ketua pertama PKI. Saat diangkat menjadi pemimpin, usianya masih relatif muda, yaitu 20. Dalam pemikirannya, Semaoen banyak menggabungkan antara pemikiran Islam dan Komunis.
Hal itu terjadi karena pada masa kecilnya, Semaoen adalah anggota Serikat Islam. Bahkan, ia adalah salah satu orang yang membangun hubungan baik antara Serikat Islam dan Partai Komunis pada awal 1920-an.
2. Tan Malaka
Tan Malaka adalah orang yang dikagumi karena kecerdasannya. Ia menggagas pemikiran Madilog (Matrealisme Dialektika dan Logika). Selain Madilog, ia menulis beberapa buku, seperti Dari Pendjara ke Pendjara dan Gerpolek. Bahkan, ia adalah orang pertama yang mendeklarasikan Partai Republik Indoneisa di Bangkok. Selama masa hidupnya, Tan Malaka banyak sekali diasingkan dari negeri Idonesia.
Saat pengasingan, Tan Malaka hijrah ke Moskow, Berlin, dan Belanda. Meskipun berada di luar Indonesia, Tan Malaka tidak penah berhenti mempejuangkan kemerdekaan. Ia menulis banyak artikel dan melakukan berbagai propaganda politik melalui media luar negeri. Tan Malaka meninggal pada 1949. Harry A Poeze, sejarawan asal Belanda, menyebutkan bahwa ia mati ditembak TNI di lereng Gunung Wilis, Kediri.
3. D.N Aidit
Dipa Nusantara Aidit merupakan tokoh yang berpengaurh di PKI pada 1960-an. Ia juga dituding sebagai dalang penculikan beberapa petinggi TNI pada 1965. Aidit berhasil membawa PKI menjadi partai terbesar di Indonesia pada 1965 karena ia berhasil mendekati Soekarno. Bahkan, Aidit sempat meminta Soekarno untuk membuat angkatan perang ke-5 di Indonesia. Aidit ingin para buruh dan tani dipersenjatai oleh pemerintah.
Setelah dituding menjadi dalang dalam Gerakan 30 September, Aidit mulai melarikan diri ke berbagai tempat. Sebelum akhirnya tertangkap di Jawa Tengah, Aidit pernah berpindah-pindah dari Jogja, Solo, hingga Banyuwangi. Kematian Aidit masih menjadi misteri karena jenazahnya sampai hari ini tidak bisa ditemukan.
Lalu marilah kita simak tautan dari majalah tempo online.
PRRI: Membangun Indonesia tanpa Komunis
R.Z. Leirissa
Pada 15 Februari 1958, sejumlah
tokoh militer dan sipil di Padang memproklamasikan berdirinya
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Peristiwa itu
merupakan puncak gunung es dari kemelut yang dihadapi bangsa Indonesia
pasca-Revolusi. Yang tidak kurang penting adalah telantarnya pembangunan
ekonomi, yang membawa kemelaratan banyak orang. Pemerintah pusat di
Jakarta meremehkan kejadian di Padang itu sebagai suatu "gerakan
separatisme". Tapi pihak daerah yang bergolak melihat tindakan mereka
sebagai upaya mencegah jatuhnya Republik Indonesia ke tangan komunisme.
Sejak
pertengahan 1950-an, konflik mulai meningkat di kalangan partai-partai
politik yang anti dan pro-komunis. Dalam Pemilu 1955, Partai Komunis
Indonesia (PKI) merebut tempat keempat, setelah Partai Nasional
Indonesia, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Sejak itu, kesadaran akan
bahaya komunisme di Indonesia terus meluas. Kekhawatiran itu makin
bertambah ketika dalam pemilihan daerah di Jawa pada Juni-Agustus 1957 PKI mengungguli semua partai lain dengan kedudukan nomor satu.
Partai-partai
antikomunis, seperti Masyumi dan PSI, mempertaruhkan semua kekuatan
untuk menghambat PKI. Tapi kecenderungan Presiden Soekarno memihak PKI
menjadikan mereka tak berdaya. Dalam konflik intern, Perang Dingin juga
menjadi faktor penting. PSI dan Masyumi dianggap oleh Soekarno sebagai "antek"
Barat, tapi bagi kedua partai itu keberpihakan pada Barat adalah
strategi untuk menghambat berkuasanya PKI di Indonesia. Ketidakberdayaan
itu makin dirasakan ketika Mohammad Hatta mengundurkan diri sebagai
wakil presiden pada awal Desember 1957. Intimidasi dan provokasi yang
dilontarkan media PKI terhadap tokoh-tokoh Masyumi menyebabkan akhirnya,
pada Desember 1957, ketua partai itu, Mohammad Natsir, terpaksa
menyingkir ke Padang. Dr Sumitro Djojohadikusumo, yang mengalami
intimidasi seperti itu, juga terpaksa meninggalkan Jakarta.
Sementara
suhu politik di Jakarta terus meningkat, pada saat yang bersamaan di
berbagai daerah muncul kritik yang tajam terhadap pemerintah. Masalah
utama adalah kemiskinan dan tidak adanya pembangunan ekonomi. Keadaan
itu dimanfaatkan oleh para panglima daerah di Sumatera dan Sulawesi
untuk mendapat dukungan rakyat atas permasalahan mereka sendiri. Sejak
Nasution diangkat kembali oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Staf
Angkatan Darat, muncul rasa ketidakpercayaan kepada Kepala Staf Angkatan
Darat, yang pernah dinonaktifkan oleh Soekarno sendiri berkaitan dengan
"Peristiwa 17 Oktober 1952" (penolakan militer atas campur tangan sipil
dalam "urusan intern militer").
Kekhawatiran
muncul ketika itu karena kerja sama Nasution dengan Soekarno diduga
bisa memperkuat posisi PKI. Karena itu, ketika Nasution memutuskan untuk
melakukan tour of duty (pemindahan tempat kedudukan para panglima),
para panglima daerah di luar Jawa membangkang. Pembangkangan itu dimulai
di Sumatera Tengah, ketika pada 25 November 1956 Panglima Divisi
Banteng Letnan Kolonel Ahmad Husein membentuk Dewan Banteng dan
mengambil alih kekuasaan atas provinsi itu. Kemudian Panglima Divisi
Bukit Barisan Kolonel Simbolon membentuk Dewan Gajah pada 22 Desember
1957. Dua hari kemudian, di Palembang, Panglima Divisi Gajah membentuk
Dewan Gajah. Di Indonesia Timur, pada 2 Maret 1957, Panglima Divisi
Wirabuana Letnan Kolonel Sumual membentuk Permesta (Perjuangan Rakyat
Semesta) di Makassar dan mengambil alih kekuasaan atas provinsi itu.
Para panglima itu berhasil membuka hubungan dagang dengan Singapura
sehingga menghasilkan uang yang banyak untuk digunakan bagi pembangunan
daerah. Bahkan dalam beberapa bulan saja Indonesia Timur menjadi sangat
makmur.
Akhir Maret 1957, sepuluh
perwira staf Markas Besar Angkatan Darat mengambil inisiatif untuk
mencari jalan keluar dari kemelut yang sudah meluas menjadi konflik
daerah itu. Maksud mereka dibicarakan dengan Perdana Menteri Djuanda,
yang ternyata sangat mendukung upaya rekonsiliasi itu. Para perwira
Markas Besar Angkatan Darat itu dikirim ke daerah-daerah yang bergolak
untuk kemungkinan menyelenggarakan suatu pertemuan nasional di Jakarta.
Letkol Sumual, yang menyadari bahwa inisia-tif itu adalah satu-satunya
cara penyelesaian, lalu datang ke Jakarta dan menghubungi Djuanda.
Dengan Djuanda dia sepakat langkah pertama ke arah musyawarah nasional
itu adalah pertemuan antara para tokoh militer dan sipil di daerah
bergolak untuk meyakinkan mereka bahwa musyawarah nasional merupakan
jalan terbaik.
Pertemuan di
Palembang yang direncanakan itu berlang-sung pada 8 September, dua hari
sebelum musyawarah nasional dibuka. Kehadiran Mohammad Natsir jelas
mempengaruhi keberhasilan pertemuan itu. Bahaya komunisme yang mengancam
Indonesia mendapat tekanan khusus dari tokoh politik kawakan ini. Di
bawah pengaruhnya, semua eksponen daerah bergolak itu menyatakan
solidaritas dan membentuk satu dewan saja dengan nama Dewan Perjuangan.
Keputusan yang diambil di Palembang- yang dicantumkan dalam "Piagam
Palembang" pada da-sar-nya merupakan usul bersama dari daerah bergolak,
yang terdiri atas lima hal: (1) pemulihan dwitunggal Soe-kar-no-Hatta,
(2) penggantian pimpinan Angkatan Darat, (3) pembentukan senat di
samping Dewan Perwakilan Rakyat untuk mewakili daerah-daerah, (4)
melaksanakan otonomi daerah, dan (5) melarang komunisme di Indonesia.
Musyawarah
nasional berlangsung di Jakarta pada 10-15 September 1957. Seluruh usul
Dewan Perjuangan ternyata diterima, kecuali pembubaran PKI. Bahkan
dibentuk suatu panitia yang terdiri atas tujuh orang untuk
merehabilitasi para perwira daerah yang oleh Nasution dianggap sebagai
pembangkang. Keputusan Panitia Tujuh direncanakan akan diumumkan pada 13
Desember dan para "perwira pembangkang" akan direhabilitasi serta
dikembalikan ke kedudukan semula.
Dari
kelima usul Dewan Perjuangan itu, dalam perjalanan sejarah, tiga
akhirnya terwujud. Pembubaran PKI dilakukan oleh Orde Baru, sementara
otonomi daerah dan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (semacam senat)
di samping Dewan Perwakilan Rakyat dilaksanakan pada masa reformasi.
Namun,
sebelum Panitia Tujuh mengumumkan hasilnya, pada 30 November, terjadi
upaya pembunuhan Presiden Soekarno ketika ia hendak meninggalkan upacara
wisuda putranya di Perguruan Cikini. Tanpa melakukan penelitian yang
menyeluruh, pemimpin Angkatan Darat menuduh para perwira daerah sebagai
pelaku atau dalangnya. Terutama Kolonel Zulkifli Lubis, perwira
intelijen yang disegani, yang menjadi bulan-bulanan.
Sekalipun
tokoh-tokoh daerah bergolak yakin tidak bersalah, hukuman telah
dijatuhkan dan mereka terpaksa menyingkir lagi ke Sumatera untuk
menghindari penangkapan.
Pusat pun
mengibarkan bendera perang terhadap daerah-daerah bergolak. Para
eksponen pergolakan itu berkumpul lagi di Sungai Dareh, Sumatera Barat,
buat membicarakan apa yang harus dilakukan untuk menghadapi permusuhan
dari pusat itu. Tokoh politik seperti Mohammad Natsir dan Sumitro
Djojohadikusumo ikut aktif dalam pertemuan itu. Bahkan Natsir
menganjurkan agar dilakukan perlawanan untuk membela diri. Nada
pertemuan itu sesuai dengan ungkapan civis pacem parabellum ("untuk
berdamai harus siap berperang"). Para perwira lain dikirim ke Singapura
untuk membeli senjata. Peran Sumitro Djojohadikusumo sangat penting
dalam hal ini.
Dewan Perjuangan
kemudian berapat lagi di Padang dan memutuskan untuk menuntut Presiden
Soekarno membubarkan kabinet Djuanda dan membentuk kabinet
Hatta-Hamengku Buwono. Jakarta dengan sendirinya menolak. Maka, pada 15
Februari 1958, di Padang dibentuk kabinet tandingan dengan nama
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Perang pun tidak dapat
dihindari.
Harus diakui, peran
pemerintah Amerika Serikat dalam kemelut ini juga penting. Melalui kerja
sama Dinas Intelijen Amerika (CIA) dan Departemen Luar Negeri
(kakak-adik Dulles), disusunlah sebuah rencana besar untuk membantu
pergolakan daerah itu. Namun keinginan Amerika Serikat agar di Padang
dibentuk "Negara Sumatera" ternyata tidak dituruti. Para eksponen
pergolakan yang turut mendirikan Republik Indonesia tampaknya tidak
sampai hati menghancurkan apa yang mereka bangun itu. PRRI ternyata
adalah pemerintah nasional yang menca-kup seluruh Indonesia juga (dengan
sistem federal).
Dari rencana
besar CIA-Departemen Luar Negeri Amerika Serikat itu, tinggal peran
Howard P. Jones yang ikut serta merancang rencana bantuan Amerika
tersebut. Ia kemudian dikirim ke Jakarta sebagai duta besar untuk
memantau keadaan-berbeda dengan laporan-laporan CIA yang cenderung
membesar-besarkan bahaya komunis.
Jones
melaporkan bahwa di kalangan pemimpin Angkatan Darat terdapat kekuatan
nyata yang antikomunis. Setelah Menteri Luar Negeri John Foster Dulles
sakit kanker, pada 1961 Amerika Serikat mengubah strateginya untuk
mendukung kekuatan antikomunis di kalangan tentara dan melepaskan
dukungannya terhadap pergolakan daerah. Sejak 17 Agustus 1961, Presiden
Soekarno mengeluarkan amnesti bagi semua tokoh yang terlibat peristiwa
PRRI.